Minggu, 09 November 2008

manajemen pesantren

MANAJEMEN PESANTREN


ANDY ANDRIANSYAH, M.PdI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang masalah

Pesantren sebagai model lembaga pendidikan Islam pertama yang mendukung kelangsungan sistem pendidikan nasional, selama ini tidak diragukan lagi kontribusinya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sekaligus mencetak kader-kader intelektual yang siap untuk mengapresiasikan potensi keilmuannya di masyarakat (Tolkhah dan Barizi: 2004: 49). Dalam perjalanan misi kependidikannya, pesantren mengalami banyak sekali hambatan yang sering kali membuat laju perjalanan ilmiah pesantren menjadi pasang surut.

Hal ini tidak terlepas dari peran dan ketokohan seorang kiai sebagai pemegang otoritas utama dalam pengambilan setiap kebijakan pesantren. Sebagai seorang top leader, kiai diharapkan mampu membawa pesantren untuk mencapai tujuannya dalam mentransformasikan nilai-nilai ilmiah (terutama ilmu keagamaan) terhadap umat (baca: santri) sehingga nilai-nilai tersebut dapat mengilhami setiap kiprah santri dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Dalam sejarahnya di masa yang lalu, pesantren telah mampu mencetak kader-kader handal yang tidak hanya dikenal potensial, akan tetapi mereka telah mampu mereproduksi potensi yang dimiliki menjadi sebuah keahlian yang layak jual. Seperti halnya di era pertama munculnya pesantren, yaitu pada masa kepemimpinan wali songo pesantren telah mampu melahirkan kader-kader seperti Sunan Kudus (Fuqoha’), Sunan Bonang (Seniman), Sunan Gunung Jati (Ahli Strategi Perang), Sunan Drajat (Ekonom), Raden Fatah (Politikus dan Negarawan), dan para wali yang lain(.A’la, 2006: 17). Mereka telah mampu menundukkan dominasi peradaban Majapahit yang telah berkuasa selama berabad-abad, yang dikenal sebagai suatu kerajaan dengan struktur pemerintahan dan pertahanan negara yang cukup disegani di kawasan Asia Tenggara.

Hal ini menjadi sangat logis sekali ketika hampir semua lembaga pendidikan di Indonesia termasuk sebagian pesantren yang mulai berlomba-lomba mencetak teknokrat dan ilmuan dengan berbagai gelar akademis, sementara disisi yang lain tugas utama pesantren untuk mencetak kader-kader fuqoha’ dan pemuka agama mulai kurang mendapat perhatian. Akankah pesantren harus mendukung realitas kehampaan spritual yang sedang menggejala di masyarakat modern saat ini?

Menurut K.H.R. As’ad Syamsul Arifin, saat ini ternyata pesantren seolah sudah mulai kehilangan daya kekebalannya untuk membendung arus modernisasi dan westernisasi yang sudah mulai menggejala sejak pertengahan abad ke XX. Banyak sekali pesantren-pesantren salaf yang mulai merubah orientasi pendidikannya menjadi pola pendidikan kebarat-baratan. Menurut Kiai As’ad bukannya pesantren tidak boleh modern, akan tetapi semangat untuk mengakomodir tuntutan zaman (baca: Modernisasi) haruslah disertai dengan konsistensi terhadap nilai-nilai yang dianut, yakni nilai-nilai salafiyah. (Arifin, 2000; 45)

Ditilik dari sejarah pendidikan Islam di Indonesia, pesantren sebagi sistem pendidikan Islam Tradisional telah memainkan peran cukup penting dalam membentuk kualitas sumber daya manusia Indonesia. Tetapi dalam pandangan Cak Nur lembaga ini telah banyak memiliki sisi kelemahan. Dalam makalah ini, pembahasan akan difokuskan dalam membahas tentang manajemen peantren. Bagaimanakah sebenarnya pesantren itu dapat berdiri sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam, dan bagaimanakah cara pengelolaannya.

B. Rumusan Masalah

a. Apakah yang dimaksud dengan Pesantren itu?

b. Apa saja kelemahan Pesantren Tradisional?

c. Bagaimanakah posisi dan Kekuasaan Kyai?

d. Bagaimanakah strategi pengelolaan Pesantren?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Tentang Pesantren

Perkataan Pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe- dan akhiran –an yang berarti tempat para santri. Sedangkan menurut Nurcholis Madjid terdapat dua pendapat tentang arti kata “santri” tersebut. Pertama, pendapat yang mengatakan berasal dari kata “sastri”, yaitu sebuah kata sansekerta yang berarti melek huruf. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa kata tersebut berasal dari bahasa Jawa “cantrik” yang berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemanapun guru ini pergi menetap. [1] Selain itu,Yasamdi mengatakan bahwa nama, “pesantren” sering kali dikaitkan dengan kata “santri” yang mirip dengan istilah bahasa India “shastri” yang berarti orang yang mengetahui buku-buku suci agama Hindu atau orang yang ahli tentang kitab suci.[2]

Mengenai pendiri pesantren pertama kali, Lembaga Research Islam (Pesantren Luhur), mengatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) sebagai peletak dasar berdirinya pesantren, selanjutnya dilanjutkan oleh Raden Rahmad (Sunan Ampel) dan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Sehingga dapat disimpulkan bahwa usia pesantren di Jawa hampir sama dengan usia Agama Islam di Jawa sendiri.[3]

Pondok Pesantren memiliki akar tradisi yang sangat kuat di lingkungan masyarakat Indonesia. M.Dawam Rahardjo menyebutkan bahwa pesantren merupakan salah satu simbol budaya pendidikan asli Indonesia (Nusantara). Secara hitoris sistem pendidikan yang berkembang di pesantren memang berakar pada tradisi pendidikan keagamaan semasa agama Hindu dan Budha yang berkembang di Indonesia.[4] Islamisasi yang berlangsung sangat intensif di Nusantara sejak awal abad ke XIII telah mentransformasikan budaya pendidikan tersebut menjadi bentuk pondok pesantren. Dalam hal ini, islamisasi nusantara memberikan muatan pemaknaan baru dari versi Islam terhadap sistem pendidikan keagamaan Hindu dan Budha tersebut.

Tentang ciri khas pesantren tradisional dari segi tradisi pendidikannya terdapat lima unsur utama yang sangat mencolok terutama di daerah Jawa. Pertama, pondok (asrama untuk para santri). Kedua, masjid ( tempat melakukan kegiatan ritual dan sekaligus tempat proses belajar). Ketiga, santri (murid –murid yang belajar ilmu agama). Keempat, Kyai (tokoh utama yang memberikan pengajaran dan bimbingan agama yang dijadikan panutan santri). Kelima, kitab kuning (kitab-kitab klasik tentang masalah pokok ajaran agama Islam.[5]

Kelima unsur pokok diatas merupakan ciri khusus yang dimiliki pesantren yang membedakannya dengan lembaga pendidikan yang lain.

B. Kelemahan Manajemen Pesantren Tradisional

Nilai-nilai salafiyah harus tetap menjadi prinsip sebagai benteng utama dalam menetralisir aspek-aspek negatif yang ditimbulkan dari dampak modernisasi yang saat ini mulai mempopulerkan diri dalam ranah pendidikan di Indonesia termasuk lembaga pendidikan pesantren. Sehingga pesantren tidak dikatakan latah dan cenderung menjadi bulan-bulanan peradaban modern yang kandungan nilai-nilainya tidak kesemuanya sesuai dengan prinsip-prinsip salaf.

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang sangat tua di Indonesai. Keberadannya menjadi salah satu wadah dalam dakwah Islam yang dianggap cukup efektif di dalam menggembleng para santri agar memiliki pengetahuan agama yang luas. Peran pesantren dalam menciptakan generasi pelaku dakwah sangatlah menonjol, sehingga pendidikan di pesantren sangat sangat terfokus pada pengajaran tentang dasar-dasar ajaran Islam yang bersumber dari kitab-kitab klasik.

Tetapi, dalam perjalanannya yang sudah sangat tua itu, terdapat banyak kelemahan dalam hal menegerialnya, sehingga hal ini menjadi kendala bagi pesantren tradisional untuk dapat berkembang dan maju. Sistem tradisional yang digunakan menjadi bomerang bagi pesantren, sehingga keberadaannya akan tetap stabil tanpa ada peningkatan.

Dengan kondisi manajemen pesantren yang sangat memprihatinkan ini sangatlah memprihatinkan, nampak jelas pada kondisi pesantren yang ala kadarnya itu, selain itu juga banyak pesantren yang merosot jumlah santrinya. Kenyataan ini menggambarkan bahwa kebanyakan pesantren tradisional dikelola berdasarkan tradisi, bukan profesionalisme berdasarkan keahlian (skill), baik human skill, conceptual skill, maupun technical skill secara terpadu. Akibatnya, tidak ada perencanaan yang matang, distribusi kekuasaan atau kewenangan yang baik, dan sebagainya.[6]

Selain itu, faktor yang mempengaruhi kurangnya kemampuan pesantren mengikuti dan menguasai perkembangan zaman terletak pada lemahnya visi dan tujuan yang dibawa pendidikan pesantren. Hal ini lebih banyak disebabkan bahwa pesantren tidak memiliki tujuan yang jelas serta menuangkannya dalam tahapan-tahapan rencanaa kerja atau program.[7]

Pelaksanan pendidikan dengan cara tradisional, dan kurang adanya sistem kurikulum yang baik, mengakibatkan proses pendidikan dan pengajaran di pesantren terhambat. Proses pengajaran yang simple dan tradisional tersebut berdampak kepada kelemahan santri dalam mengembangkan dirinya. Tidak ada kesempatan bagi santri pesantren untuk mengembangkan skill, bakat dan keahliannya, hal ini juga disebabkan karena minimnya failitas pendidikan di lingkungan pesantren. Kegiatan di pesantren kebanyakan hanya mengkaji karya-karya lama, tanpa dapat menghasilkan karya tulis. Santri dan pengajar kebanyakan hanya dapat mengkaji, tanpa dapat, meneliti dan mengembangkan teori keagamaan. Hal ini merupakan dampak dari lemahnya manajerial pesantren selama ini.

Nurkholis madjid menambahkan, bahwa metode yag digunakan kyai dalam proses belajar mengajar terlalu mengabaikan aspek kognitif yang dapat berdampak negatif pada output pesantren sendiri. Seorang Kyai menggunakan metode pengajian, yang mana hal ini kurang menekankan aspek kognitif santri. Santri hanya dapat mendengarkan tanpa dapat menanggapi atau mengembangkannya, karena ada konsep su’ud adab jika melanggar perintah atau tidak patuh pada perintah seorang kyai.

C. Ciri Khas Pesantren dan Posisi Kekuasaan Kyai

Ciri-ciri pesantren yang masih berpegang teguh pada nilai-nilai salafiyah dapat di defininisikan sebagai berikut (Sulthon dan Ridlo, 2006: 12-13):

1. Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya. Kiai sangat memperhatikan santrinya. Hal ini memungkinkan karena tinggal dalam satu kompleks dan sering bertemu baik disaat belajar maupun dalam pergaulan sehari-hari. Bahkan sebagian santri diminta menjadi asisten kiai (Khadam).

2. Kepatuhan santri kepada kiai. Para santri menganggap bahwa menentang kiai, selain tidak sopan juga dilarang agama. Bahkan tidak memperoleh berkah karena durhaka kepada sang guru.

3. Hidup hemat dan sederhana benar-benar diwujudkan dalam lingkungan pesantren. Hidup mewah hampir tidak didapatkan disana.

4. Kemandirian amat terasa di pesantren. Para santri mencuci pakaian sendiri, membersihkan kamar tidurnya, bahkan sampai memasak sendiri.

5. Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan (Ukhuwwah Islamiyyah) sangat mewarnai pergaulan di pesantren. Ini disebabkan selain kehidupan yang mereta dikalangan santri, juga karena mereka harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang sama, seperti shalat berjamaah, membersihkan masjid, dan belajar bersama.

6. Disiplin sangat dianjurkan. Untuk menjaga kedisiplinan ini pesantren biasanya memberikan sanksi-sanksi edukatif.

7. Keprihatinan untuk mencapai tujuan mulia. Hal ini sebaai akibat kebiasaan puasa sunnah, dzikir, dan i’tikaf, shalat tahajjud, dan bentuk-bentuk riyadlah kainnya atau menauladani kiainya yang terbiasa dengan kehidupan zuhud.

8. Pemberian ijazah. Yaitu pencantuman nama dalam satu daftar mata rantai pengalihan pengetahuan yang diberikan kepada santri-santri yang berprestasi. Hal ini menandakan adanya restu kiai kepada santrinya untuk mengajarkan sebuah teks kitab yang dikuasai penuh.

Para santri menyadari bahwa kyai merupakan sosok insan yang hebat secara pengetahuan, berakhlak mulia, dan bijaksana sehingga sangat disegani. Upaya santri untuk berhubungan dengan kyai selalu diwujudkan dalam sikap hati-hati, penuh seksama dan hormat. Kyai memiliki posisi tinggi di masyarakat, dan mendapatkan kedudukan yang terhormat. Seorang Kyai berperan besar terhadap kemajuan dan nilai suatu pesantren. Karena seorang Kyai dijadikan profil bagi pesantren tersebut. Kebiasaan yang ada bahwa sebuah pesantren akan ternama sebagaiman nama seorang kyai-nya.

Posisi kyai sebagai seorang tuntunan dan panutan, secara langsung akan mempengaruhi pola pemikiran para santri. Seorang Kyai ahli Fiqih, akan mempengaruhi pesantrennya dengan kajian Fiqih, demikian seterusnya, bahwa keahlian seorang kyai akan berpengaruh terhadap idealisme fokus kajian di pesantren tersebut.

Seorang Kyai dalam sebuah pesantren memiliki multi fungsi, yaitu; sebagai guru yang mengajarkan ilmu agama, sebagai mubaligh yang menyampaikan dakwah, dan manajer yang memerankan pengendalian dan pengaturan pada bawahannya. Dari tiga fungsi tersebut, tampaknya fungsi sebagai mubaligh yang lebih mempengaruhi performance-nya, termasuk juga penampilan ketika mengelola pesantren.

Nur Syam menambahkan lagi tiga fungsi lain: pertama, sebagai agen budaya. Kyai berperan sebagai penyaring budaya yang merambah masyarakat. Kedua, sebagai mediator, yakni menjadi penghubung antara kepentingan berbagai segmen masyarakat. Ketiga, sebagai penyaring makelar budaya dan mediator, mengajarkan budaya islami pada masyarakat, sekaligus penghubung berbagai kepentingan masyarakat. Kyai menguasai dan mengendalikan seluruh sektor kehidupan pesantren, karena memiliki karismatik.

Kerugian kepemimpinan karismatik ini akhirnya mengakibatkan kerugain pesantren akibat sikap dan penampilan kyai yang membentuk mata rantai kelemahan nya. Nurkholis Madjid memaparkan sebagai berikut:

  1. Karisma

Pola kepemimpinan karismatik sudah cukup menunjukkan segi tidak demokratis, sebab tidak rasional, hal ini terbukti dengan tindakan kyai yang menjaga jarak dengan santri.

  1. Personal

Karena kepemimpinan kyai merupakan kepemimpinan karismatik maka dengan sednirinya juga bersifat pribadi dan personal. Kenyataan ini mengandung implikasi bahwa seorang kyai tidak dapat digantikan oleh orang lain serta sulit ditundukkan dalam rule of game sistem administrasi dan manajemen pesantren

  1. Religio-Feodal

Seorang kyai selain menjadi pemimpin agama sekaligus merupakan tradisional mobility dalm masyarakat feodal. Feodalisme yang terbungkus keagamaaan ini bila disalah gunakan akan jauh lebih berbahaya dari pada feodalisme biasa.

  1. Kecakapan Teknis

Karena dasar kepemimpinan dalam pesantren seperti itu, maka faktor kecakapan teknis menjadi tidak begitu penting. Kekurangan inimenjadi salah satu sebab pokok tertinggalnya pesantren dalam perkembangan zaman.

Kelemahan – kelemahan kepemimpinan kyai tersebut membutuhkan solusi yang strategis untuk mengatasinya. Meskipun terasa sulit diperbaiki karena telah begitu membudaya dan berurat – akar hingga sekarang ini. Hal ini khusunya terjadi di pesantren salafiyah.

D. Strategi Pengelolaan Pesantren

Keberhasilan dan kemajuan sebuah pesantren tidak terlepas dari faktor manajerial. Jika sebuah pesantren dikelola secara profesional dan dengan manajemen yang bagus, maka sebuah pesantren akan menjadi berkembang dan menjadi maju. Sebaliknya, jika sebuah pesantren yang dikelola dengan manajemen yang rendah dan tidak profesional, maka dapat dipastikan bahwa sebuah pesantren akan kalah dalam menghadapi tantangan multi dimensi.

Pola kepemimpinan karismatik dalam pesantren menjadi salah satu faktor kelemahan pesantren, selain faktor lainnya. Perlu diadakan pembaharuan dalam manajerial pesantren dan membutuhkan solusi-solusi yang lebih komprehensif dan menyebar ke berbagai komponen pendidikan, untuk mengembangkan dan memperbaiki kwalitas dan kwantitas pesantren. Solusi beserta langkah-langkah yang dimaksud adalah sebagai berikut:

Pertama, menerapkan manajemen secara profesional. Halini dapat ditempuh melalui langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Mengusai ilmu dan praktik tentang pengelolaan pesantren.
  2. Menerapkan fungsi-fungsi manajemen, mulai dari perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan.
  3. Mampu menunjukkan skill yang dibutuhkan pesantren.
  4. Memiliki pendidikan, pelatihan, atau pengalaman yang memadai tentang pengelolaan.
  5. Memiliki kewajiban moral untuk memajukan pesantren.
  6. Memiliki kemiripan yang tinggi terhadap kemajuan pesantren.
  7. Memiliki kejujuran dan disiplin tinggi
  8. Mampu memberi teladan dalam pelaksanaan dan perbuatan kepada bawahan.

Kedua, menerapkan kepemimpinan yang kolektif. Strategi ini dapat diwujudkan melalui langkah-langkah berikut:

  1. Mendirikan yayasan
  2. Mengadakan pembagian wewenang secara jelas
  3. Memberikan tanggung jawab kepada masing-masing pegawai
  4. Menjalankan roda organisasi bersama-sama sesuai dengan kewenangan masing-masing pihak secara proaktif
  5. Menanggung resiko bersama-sama

Ketiga, menerapkan demokratisasi kepemimpinan. Strategi ini dapat ditempuh melalui langkah-langkah berikut:

  1. Mengurangi dominasi kiai dlam penentuan kebijakan
  2. Menekankan partisipasi masyarakat pesantren dalam menentukan pilihannya sendiri
  3. Keputusan-keputusan yang diambil kiai memnpertimbangkan usaha-usah dari bawah
  4. Memberikan kebebasan kepada bawahan untuk memilih pimpinan unit-unit kelembagaan secara terbuka dan mandiri

Keempat, menerapkan manajemen struktur. Strategi ini dapat dilalui sebagai berikut:

  1. Menyusun sturktur organisasi secara lengkap
  2. Menyusun deskripsi pekerjaan (job description)
  3. Menjelaskan hubungan kewenangan antar pegawi dan pimpinan, baik secara vertikal maupun horizontal
  4. Menanamkan komitmen terhadap tugas masing-masing pegawai
  5. Menjaga kode etik kewenangan masing-masing pegawai

Kelima,menanamkan sikap sosio-egaliterianisme. Strategi ini dapat sitempuh melalui langka-langkah berikut:

  1. Menggusur sikap feodalisme yang berkedok agama
  2. Memandang semua orang memiliki derajat dan martabat sosial yang sama sesuai amanat al-Qur’an
  3. Menghapus diskriminasi di kalangan santri antara kelompok putra dan putri kiai dengn santri biasa
  4. Menghapus sikap mengkultuskan para kiai
  5. Menghapus penghormatan yang berlebih kepada kiai
  6. Menghapus sikap mengistewakan seseorang atau kelompok tertentu
  7. Membebaskan para santri dari perasaan sebagai “hamba” dihadapan kiai sehingga mereka dapat menjadi santri yansg sopan tetapi penuh inisiatif.

Keenam, menghindarkan pemahaman yang menyucikan pemikiran agama (taqdis afkar al-dini). Strategi ini dapat ditempuh dengan langkah-langkah berikut:

  1. Membiasakan telaah terhadap isi kandungan sesuatu kitab
  2. Membinasakan pendekatan perbandingan pemikiran para ulama dalam proses pembelajaran.
  3. Membiasakan kritik konstruktif dalm proses pembelajaran
  4. Menanamkan kesadaran bahwa pemikiran para penulis kitab sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang terjdai sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang terjadi pada saat penulisan kitab itu.
  5. Menanamkan kesadaran bahwa betapapun hebatnya seoarang penulis kitab, dia pasti memiliki kelemahan tertentu.

Ketujuh, memperkuat penguasaan epistimologi dan metodologi. Strategi ini dapat dirinci melalui langkah-langkah berikut:

  1. Menyajikan pelajaran teori pengetahuan
  2. Memotivasi santri senior untuk mengembangkan pengetahuan
  3. Memperkuat ilmu-ilmu wawasan, seperti sejarah, filsafat, mantiq, perbandingan madzhab, agama dan ilmu-ilmu Al-Qur’an
  4. Memperkuat ilmu-ilmu pendekatan atau metode, seperti ushul fiqh dan kaidah-kaidah ilmu fikih
  5. Mengajarkan metodologi penelitian
  6. Mengajarkan metodologi penulisan karya ilmiah
  7. Mengajarkan metode berpikir ilmiah
  8. Memberikan tugas-tugas penulisan ilmiah
  9. Mendorong keberanian para santri-santri senior untuk menulis buku-buku ilmiah

Kedelapan, mengadakan pembaruan secara berkesinambungan, sebagai berikut:

  1. Mengadakan pembaruan dan/atau penamabahan institusi
  2. Mengadakan pembaruan sistem pendidikan
  3. Mengadakan pembaruan sistem kepemimpinan
  4. Mengadakan pembaruan sistem pembelajaran
  5. Mengadakan pembaruan kurikulum
  6. Mengadakan pembaruan strategi, pendekatan, dan metodogi
  7. Mempurkuat SDM para Ustadz, perpustakaan, dan laboratorium.

Kesembilan, mengembangkan sentra-sentra perekonomian. Strategi ini dapat dilakukan sebagai berikut:

  1. Mendirikan toko-toko yang menyediakan kebutuhan para santri
  2. Mengelola konsumsi para santri (tata boga)
  3. Mendirikan koperasi
  4. Mendirikan pusat-pusat pelayanan publik yang berorientasi pada keuntungan finansial
  5. Membuat jaringan kerjasama dengan pihak lain yanng saling menguntungkan
  6. Mendirikan usaha-usaha produktif lainnya.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan:

Usia pesantren di Nusantara hampir seiring dengan usia agama Islam di Nusantara ini. Pesantren memiliki peranan bear bagi kehidupan umat islam. Karena pesantren mampu mempertahankan nilai-nilai ajaran agama islam, serta mampu menghasilkan orang-orang yang memiliki pengetahuan luas tentang agama Islam.

Namun kenyataannya, pesantren memiliki banyak kelemahan dalam perjalananya, sehingga pesantren tidak mampu menghadapi tantangan zaman yang kompleks. Dalam segoi manajerialnya, pesantren tidak memiliki aspek manajerial yang baik dan profesional, sehingga menyebabkan kelemahan dan kemunduran pesantren sendiri.

Kiai dalam pesantren memiliki posisi dan kedudukan yang tinggi. Pola kepemimpin kiai adalah pola karismatik, sehingga hal ini berdampak kekurang dekatan antara para kiai dan santri, seakan-akan terdapa jurang pemisah antara keduanya. Hal ini mengakibatkan hubungan manajerial kurang terbuka dan berkesinambungan.

Ada beberapa langkah yang dapat ditempuh dalam usaha pengembangan dan penataan kembali administrasi pesantren, yaitu:

a. Menerapkan manajemen secara profesional

b. Menerapkan kepemimpinan yang kolektif

c. Menerapkan demokratisasi kepemimpinan

d. Menerapkan manajemen struktur

e. Menanamkan sikap sosi-egaliterainisme

f. Menghindarkan pemahaman yang menyucikan pemikiran agama.

g. Memperkuat penguasaan epistemologi dan metodologi

h. Mengadakan pembaruan secara berkesinambungan

i. Mengembangkan sentre-sentra perekonomian

DAFTAR RUJUKAN

Qomar, Mujamil.Manajemen Pendidikan Islam.2008.Surabaya: Erlangga

Qomar, Mujamil.Pesantren: dari transformasi Metodologi menuju Demokratisasi Institusi. 2006. Yogyakarta:PT Gelora Aksara Pratama

Azra, Azyumardi.Essei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam.1998.Jakarta: Logos Wacana Ilmu

Yasmadi.Modernisasi Pesatren.2005.Jakarta:Quantum Teaching

M. Dawam Rahardjo, Pergulatan dunia Pesantren: Membangun dari Bawah .1985.Jakarta:P3M

Fuad Jabali dan Jamhari, IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia.2002. Jakarta:Logos Wacana Ilmu



[1] Yasmadi, Modernisasi… hal.62

[2] Fuad Jabali dan Jamhari, IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia (Jakarta:Logos Wacana Ilmu,2002) hal. 94

[3] Mujamil Qomar. Pesantren: dari Transformasi Metodologi menuju Demokratisasi Institusi (Jakarta: Erlangga, 2002)hal. 9

[4] M. Dawam Rahardjo, Pergulatan dunia Pesantren: Membangun dari Bawah (Jakarta:P3M,1985) hal.94

[5] Fuad jabali dan Jamhari, IAIN… hal. 95

[6] Mujamil Qomar. Manajemen Pendidikan Islam (Jakarta: Erlangga, 2007) hal.59

[7] Nurkholis Madjif. Modernisasi… hal. 72


Tidak ada komentar: